Kesenian Masyarakat Bali, Kehilangan Karisma Berita Peristiwa - Berita Peristiwa

Jumat, 13 November 2009

Kesenian Masyarakat Bali, Kehilangan Karisma
Berita Peristiwa - Berita Peristiwa
Sabtu, 15 Agustus 2009 00:05

Pura di Bali/Ilustrasi

Denpasar, beritabaru.com - Guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof I Wayan Dibia menilai, kesenian dalam kehidupan masyarakat Bali mengalami pergeseran ke arah material. Akibatnya, kesenian di 'Pulau Seribu Pura' itu, kehilangan karisma.

"Kondisi itu menyebabkan kesenian Bali kehilangan `taksu`, atau karisma," kata Dibia ketika tampil sebagai pembicara pada dialog sastra, filsafat dan kebudayaan terkait pelaksanaan Sanur Village Festival (SVF) 2009, di Sanur, Jumat (14/8).

Kegiatan sehari tersebut diikuti lebih dari 50 peserta yang terdiri atas sastrawan, seniman, budayawan, akademisi, penulis, komunikasi kreatif, pemerhati, tokoh dan praktisi.

Menurut Dibia, taksu (karisma) diperlukan dalam semua bidang profesi. Selain itu, masyarakat Bali meyakini, taksu sangat menentukan keberhasilan sebuah garapan karya seni. Masyarakat Bali memandang taksu sebagai kekuatan yang dapat memberi kecerdasan dan kewibawaan kepada pemiliknya serta sebagai jiwa, daya pikat bagi karya seni yang dihasilkan tersebut.

"Pegelaran atau ciptaan karya seni yang memiliki taksu akan menjadi hidup dan berjiwa, sehingga dapat menggetarkan perasaan para penikmatnya," ujar Dibia.

Kreativitas seni tanpa taksu akan menjadi hampa dan hambar, sehingga tidak mampu membangkitkan cita-rasa bagi penikmat seni. Taksu selama ini lebih banyak dikaitkan dengan seni, meskipun dalam realitasnya sangat dibutuhkan dalam semua bidang prefesi. Dalam tradisi Bali, pencapaian taksu seringkali melalui atau proses kegiatan ritual.

"Di Bali dan tempat lain di Indonesia maupun belahan dunia, masyarakatnya percaya, seni adalah ciptaan Tuhan, dan mereka yakin kualitas suatu pegelaran ditentukan oleh datangnya sinar suci Tuhan (taksu)," ucap Dibia. (*).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar