
Taksu dan Jengah
Atha chet tvam imam dharmyam, samgramam na karishyasi
Tatah svadharmam kirtim cha, hitva papam avapsyasi (Bhg.II.33)
Artinya : Tetapi jika engkau tiada melakukan perang menegakkan kebenaran ini, meninggalkan kewajiban dan kehormatanmu maka dosa papalah bagimu.
MODERNISASI kehidupan manusia serta perubahan sosial yang berjalan cepat, membawa beraneka ragam kemajuan dan sekaligus berbagai masalah. Dampak negatif dari suatu proses perubahan itu seperti meningkatnya kemiskinan, krisis ekonomi, korupsi, perselingkuhan, pemutusan hubungan kerja, penyebaran AIDS/HIV dan penyakit masyarakat lainnya.
Dari segi agama dapat dijelaskan bahwa problematik kehidupan ini dapat terjadi karena manusia tidak siap menerima dan menghadapi kemajuan tersebut. Dalam dirinya tidak ada jiwa tenang, tidak ada keseimbangan antara kehidupan materiil dan kehidupan spiritual, ketidakseimbangan antara kehidupan berkebudayaan dan kehidupan beragama, maka munculah kehidupan dimana siapa yang kuat memakan yang lemah, yang bergelimangan harta menghamburkan uang tanpa arah, yang miskin terus merana terkapar di hamparan debu dan lumpur.Untuk bangkit dari keterpurukan itu, dapat kita menyimak kutipan kitab suci Bhagawadgita II.33 di atas. Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan perkataan “perang” dan “ksatria” pada sloka tersebut adalah mengandung pengertian yang lebih mendalam dan bersifat spiritual. Perang menegakkan kebenaran disini dimaksudkan lebih dari membela tanah air, bangsa dan agama, yaitu pergulatan bhatin antara yang benar dan yang salah. Mereka yang menghindarinya karena perasaan lemah dan takut adalah berdosa. Demikian pula yang dimaksud dengan perkataan “ksatria” bukanlah asal kelahiran atau keturunan melainkan melainkan kondisi psikophisik seseorang yang memiliki sifat-sifat dan pengertian akan swadharma (menjalankan kewajiban sendiri).
Sejak dalam kandungan dan lahir sebagai manusia dewasa, manusia memiliki dua sumber kekuatan yang perlu dihayati dan dikembangkan. Dua sumber kekuatan yang dimaksud adalah “Taksu dan Jengah”. Taksu adalah kekuatan dalam yang memberi kecerdasan dan keindahan. Dalam kaitan dengan aktivitas budaya, taksu sebagai anugrah Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa adalah hasil dari kerja keras, dedikasi, penyerahan diri pada bidang tertentu secara murni dan disiplin. Taksu merupakan pangkal aktivitas dan landasan kemampuan dalam menghasilkan karya-karya monumental.
Konteks budaya, perkataan “jengah” memiliki konotasi sebagai semangat guna menumbuhkan inovasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jengah merupakan dasar sifat-sifat dinamik yang menjadi pangkal segala perubahan dalam kehidupan masyarakat. Taksu dan jengah bagaikan sinar matahari dan sinar bulan purnama. Sinar matahari yang memancar di siang hari memberikan pencerahan dan penerangan seluruh mahluk agar memahami dan mengerti hidup. Sedangkan sinar bulan purnama di malam hari memberikan penerangan kepada semua mahluk bahwa hidup ini sesungguhnya sangat indah. Taksu dan jengah adalah dua kekuatan yang saling isi mengisi sehingga memungkinkan terjadinya transformasi budaya secara terus menerus melalui proses pemeliharaan, pelestarian, pembinaan dan pengembangan.
Dalam upaya menggali dan mengembangkan dua sumber kekuatan tersebut, sudah tentu tidak hanya berhenti pada tataran tradisionalis, melainkan mampu berkembang menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan zaman yaitu melalui penguasaan ilmu dan teknologi. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dalam aplikasinya dilandasi oleh nilai-nilai etika, moral dan agama, maka kita memiliki pegangan yang kuat dan kokoh dalam menghadapi berbagai perubahan, dan tantangan yang datang baik dari dalam diri manusia maupun dari luar diri manusia. Walaupun telah menguasai ilmu dan teknologi, namun belum melaksanakan nilai-nilai etika, moral dan agama dalam kehidupan sehari-hari, maka selamanya mereka tidak bisa mencapai hidup spiritual, sebab ia tidak dikendalikan oleh jiwanya melainkan oleh egonya.**