Kesenian Masyarakat Bali, Kehilangan Karisma Berita Peristiwa - Berita Peristiwa

Jumat, 30 Oktober 2009

Taksu dan Jengah untuk hidup


Taksu dan Jengah


Atha chet tvam imam dharmyam, samgramam na karishyasi
Tatah svadharmam kirtim cha, hitva papam avapsyasi (Bhg.II.33)
Artinya : Tetapi jika engkau tiada melakukan perang menegakkan kebenaran ini, meninggalkan kewajiban dan kehormatanmu maka dosa papalah bagimu.

MODERNISASI kehidupan manusia serta perubahan sosial yang berjalan cepat, membawa beraneka ragam kemajuan dan sekaligus berbagai masalah. Dampak negatif dari suatu proses perubahan itu seperti meningkatnya kemiskinan, krisis ekonomi, korupsi, perselingkuhan, pemutusan hubungan kerja, penyebaran AIDS/HIV dan penyakit masyarakat lainnya.
Dari segi agama dapat dijelaskan bahwa problematik kehidupan ini dapat terjadi karena manusia tidak siap menerima dan menghadapi kemajuan tersebut. Dalam dirinya tidak ada jiwa tenang, tidak ada keseimbangan antara kehidupan materiil dan kehidupan spiritual, ketidakseimbangan antara kehidupan berkebudayaan dan kehidupan beragama, maka munculah kehidupan dimana siapa yang kuat memakan yang lemah, yang bergelimangan harta menghamburkan uang tanpa arah, yang miskin terus merana terkapar di hamparan debu dan lumpur.
IlustrasiUntuk bangkit dari keterpurukan itu, dapat kita menyimak kutipan kitab suci Bhagawadgita II.33 di atas. Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan perkataan “perang” dan “ksatria” pada sloka tersebut adalah mengandung pengertian yang lebih mendalam dan bersifat spiritual. Perang menegakkan kebenaran disini dimaksudkan lebih dari membela tanah air, bangsa dan agama, yaitu pergulatan bhatin antara yang benar dan yang salah. Mereka yang menghindarinya karena perasaan lemah dan takut adalah berdosa. Demikian pula yang dimaksud dengan perkataan “ksatria” bukanlah asal kelahiran atau keturunan melainkan melainkan kondisi psikophisik seseorang yang memiliki sifat-sifat dan pengertian akan swadharma (menjalankan kewajiban sendiri).
Sejak dalam kandungan dan lahir sebagai manusia dewasa, manusia memiliki dua sumber kekuatan yang perlu dihayati dan dikembangkan. Dua sumber kekuatan yang dimaksud adalah “Taksu dan Jengah”. Taksu adalah kekuatan dalam yang memberi kecerdasan dan keindahan. Dalam kaitan dengan aktivitas budaya, taksu sebagai anugrah Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa adalah hasil dari kerja keras, dedikasi, penyerahan diri pada bidang tertentu secara murni dan disiplin. Taksu merupakan pangkal aktivitas dan landasan kemampuan dalam menghasilkan karya-karya monumental.
Konteks budaya, perkataan “jengah” memiliki konotasi sebagai semangat guna menumbuhkan inovasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jengah merupakan dasar sifat-sifat dinamik yang menjadi pangkal segala perubahan dalam kehidupan masyarakat. Taksu dan jengah bagaikan sinar matahari dan sinar bulan purnama. Sinar matahari yang memancar di siang hari memberikan pencerahan dan penerangan seluruh mahluk agar memahami dan mengerti hidup. Sedangkan sinar bulan purnama di malam hari memberikan penerangan kepada semua mahluk bahwa hidup ini sesungguhnya sangat indah. Taksu dan jengah adalah dua kekuatan yang saling isi mengisi sehingga memungkinkan terjadinya transformasi budaya secara terus menerus melalui proses pemeliharaan, pelestarian, pembinaan dan pengembangan.
Dalam upaya menggali dan mengembangkan dua sumber kekuatan tersebut, sudah tentu tidak hanya berhenti pada tataran tradisionalis, melainkan mampu berkembang menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan zaman yaitu melalui penguasaan ilmu dan teknologi. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dalam aplikasinya dilandasi oleh nilai-nilai etika, moral dan agama, maka kita memiliki pegangan yang kuat dan kokoh dalam menghadapi berbagai perubahan, dan tantangan yang datang baik dari dalam diri manusia maupun dari luar diri manusia. Walaupun telah menguasai ilmu dan teknologi, namun belum melaksanakan nilai-nilai etika, moral dan agama dalam kehidupan sehari-hari, maka selamanya mereka tidak bisa mencapai hidup spiritual, sebab ia tidak dikendalikan oleh jiwanya melainkan oleh egonya.**

Taksu-Memasak dan Sejarah


Klinik Seni Taksu - Memasak dan Sejarah

by Pitra Hutomo last modified 2009-07-01 14:36

Pameran ini berangkat dari sebuah perdebatan panjang tentang tragedi kemanusiaan yang terjadi di Bali sepanjang perjalanan sejarah ini (1965). Sejarah peradaban manusia adalah sejarah penaklukan, sejarah penindasan, dan penghilangan antara sesamanya. Salah satunya pembantaian besar-besaran terhadap orang yang dituduh anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Tema pameran mencoba mencari kaitan antara memasak dan sejarah. Memasak sebagai aktivitas mengolah sesuatu (bahan makanan dan bumbu) sedangkan sejarah sebagai hasil racikan gurih penuh bumbu mitos atau heroisme oleh pihak penguasa, yang terkadang terlewat gurih sehingga menyerupai babad dan mitologi. Hubungan yang terlihat adalah seputar “kegiatan meracik dan hasilnya”, apabila dilebarkan mungkin persilangan dua tema tersebut kelak dapat menghasilkan panduan-panduan seperti “Sejarah Memasak”, “Memasak dan Sejarah”, atau mungkin “Memasak Sejarah”.Yang terakhir itu bisa berkonotasi "memasak sejarah hingga matang untuk disajikan di atas meja makan" (lihat: katalog pameran "Memasak dan Sejarah"). Visualisasi di ruangan pameran "Memasak dan Sejarah" menampilkan keberagaman medium, mulai dari lukisan, woodcut, fotokopi, instalasi, performance art dan video. Performance yang hadir dalam pameran tersebut, sebagai pembuka peresmian pameran "Memasak dan Sejarah" berupa demo memasak dalam ruang pameran dengan bahan dasar umbi ketela pohon yang langsung dibawa dari Bali. Keberagaman medium ini tergabung menjadi satu dalam sebuah karya kolektif. (Sumber: http://gudeg.net/news/2004/06/2464/Pameran-Memasak-dan-Sejarah-Berangkat-dari-Perdebatan-Tragedi-Kemanusiaan.html). Ada juga Artist Talk, Pemutaran film "Bali tahun 30an" dan "Mass Grave", disusul diskusi bersama Dr. Budiawan sebagai narasumber. Pameran ini dikerjakan oleh komunitas Klinik Seni Taxu, Bali.

Taksu Bali dalam Membangun Hidup


Membangun Hidup ''Mataksu''

Adanya Pelinggih Kamulan Taksu di setiap Merajan sebagai Batara Hyang Guru bagi keluarga Hindu di Bali sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang universal. Mataksu artinya dapat melihat sesuatu aspek kehidupan dengan pandangan yang multidimensi. Sesuatu itu tidak dipandang dari sudut pandang mata duniawi semata. Seseorang akan dapat hidup mataksu apa bila memiliki struktur diri yang ideal.

============================================================

Struktur diri yang ideal di mana Atman sebagai unsur tersuci dalam diri dapat memancarkan kesucian melalui kesadaran budhi tembus pada kecerdasan pikiran dan kesempurnaan indria. Struktur diri yang ideal itu harus dibangun sejak manusia diletakkan dalam rahim ibu. Spirit dan Catur Sanak dianggap sebagai sumber taksu. Karena spirit Catur Sanak itu adalah dari Atman.

Tanpa ada Atman bersemayam dalam diri seorang ibu tentunya Catur Sanak tersebut tidak bisa berfungsi apa-apa. Ia hanyalah fisik belaka yang dibangun dari lima zat alam yang disebut Panca Maha Bhuta. Yang distanakan di Pelinggih Kamulan adalah aspek spiritnya sebagai pancaran dari Atman. Sedangkan Atman dalam Upanisad tidak lain dari Brahman.

Kamulan Taksu itu disebut sebagai Bhatara Hyang Guru. Dari dua pelinggih itulah mulai dibangun hidup mataksu, artinya hidup dengan pandangan luas yang multi dimensi. Dengan adanya Pelinggih Kamulan sebagai Pelinggih Sang Hyang Atma ini berarti Atman sebagai guru seperti dinyatakan dalam Vana Parwa.

Pelinggih Kamulan adalah stana Sang Hyang Atma sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Usana Dewa dan Lontar Gong Wesi. Kedudukan Kamulan sebagai stana Sang Hyang Atma adalah simbol sakral untuk memotivasi umat Hindu agar secara terus-menerus mengembangkan pendidikan kerohanian dalam keluarga. Pendidikan kerohanian itu untuk mengutamakan eksistensi kesucian Atman dalam diri umat.

Atman yang tiada lain adalah Brahman tentunya selalu memancarkan kesucian. Tetapi pancaran kesucian Atman itu sering ditutupi oleh avidia atau kegelapan budhi, manah dan indria bagaikan awan gelap menutup sinar matahari yang selalu memancar. Karena itu budhi, manah dan indria harus disucikan dengan ilmu pengetahuan suci. Karena itu dalam Manawa Dharmasastra V.109 dinyatakan bahwa ''vidya tapobhyam bhutatma suddhyati''.

Artinya Atman disucikan dengan ilmu pengetahuan suci dan tapa brata. Ini berarti agar manusia selalu berguru untuk mendapatkan tuntutan Atman maka senantiasalah dalam keluarga Hindu itu mengembangkan hidup berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengendalian diri dengan tapa brata. Dengan demikian hidupu akan mataksu. Taksu akan hilang kalau hidup ini tidak mengikuti tuntunan ilmu pengetahuan suci. Resi Bisma kehilangan taksu saat tinggal di Astina. Karena setiap hari disuguhi makanan hasil kejahatan dan dimasak oleh orang-orang jahat. Saat itu Duryudana sebagai Raja Astina.

Makanan yang didapat dengan cara melanggar dharma saja kesucian Atman tidak memancarkan dalam diri sehingga taksu menjadi hilang. Tujuan Tapa Brata dan Vidya itu untuk mendidik, melatih dan membina indria, manah dan budhi menjadi media untuk memancarkan kesucian Atman. Dari pancaran kesucian Atman itulah akan didapatkan taksu. Palinggih Taksu di Merajan Kamulan itu sebagai pemujaan spek spirit dari Catur Sanak. Secara langsung unsur-unsur Catur Sanak itulah yang membentuk janin menjadi jabang bayi.

Di dalam ilmu pendidikan dikenal adanya pendidikan prenatal artinya pendidikan anak yang masih dalam kandungan ibunya. Dari anak dalam kandungan itulah sudah ditanamkan nilai-nilai kehidupan yang utuh, baik dalam fisik maupun mental spiritual. Setelah ia lahir sudah membawa bibit-bibit unggul untuk diberikan pendidikan agar kelak menjadi suputra yang mataksu.

Dengan demikian sudah sangat tepatlah leluhur umat Hindu di Bali menyebutnya Merajan Kamulan itu sebagai tempat memuja Batara Hyang Guru. Di Merajan Kamulan itulah sudah ditanamkan nilai-nilai pendidikan yang seimbang antara pendidikan untuk membangun jiwa dan raga yang seimbang.

Dalam Nitisastra VIII.3 ada dinyatakan suatu kewajiban orangtua untuk melahirkan putra atau disebut Sang Ametwaken. Hal ini mengandung maksud agar seorang ayah dan ibu dalam menyiapkan kelahiran putranya benar-benar melalui persiapan yang matang, baik fisik maupun mental spiritual. Apalagi sudah terbentuknya janin dalam kandungan ibu.

Keadaan Sang Catur Sanak seperti ari-arinya, darah, yeh nyom dan lamas-nya terpelihara dengan perawatan yang telaten. Menjaga kesehatan ibu yang mengandung secara prima itulah awal pendidikan anak manusia agar kelak ia menjadi putra yang mataksu.

Adanya Pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan Taksu itu tidaklah semata-mata hanya sebagai media melakukan ritual keagamaan Hindu yang bersifat formal belaka. Di balik itu ada pesan-pesan pendidikan yang amat mendasar sehingga tempat pemujaan itu disebut sebagai palinggih Batara Hyang Guru. Apalagi di dalam ajaran Hindu dikenal adanya pendidikan seumur hidup lewat ajaran Catur Asrama.

Saat masih dalam Brahmacari Asrama belajar dharma untuk mendapatkan Guna Vidya atau ilmu tentang keterampilan untuk mencari nafkah agar dapat melangsungkan kehidupan ini. Grshastha Asrama pendidikan untuk dapat hidup mandiri. Kemandirian itulah ciri seorang Grhastha.

Selanjutnya saat menjalankan Wanaprastha Asrama menjadi penasihat atau sawacana gegonta yang wajib dipelajari terus. Saat menginjak Sanyasa Asrama harus berguru untuk melepaskan Atman dengan sebaik-baiknya kembali ke alam niskala. Inilah konsep belajar seumur hidup menurut ajaran Hindu. Proses belajar yang terus-menerus itu dilakukan dengan benar dan tepat.

Proses belajar yang benar dan tepat itu sesuai dengan tahapan Catur Asrama. Setiap Asrama yakinlah ada yang muncul lebih sukses dari yang lainnya. Dengan demikian setiap Asrama akan memiliki tokoh-tokoh mataksu. Proses pendidikan informasi dalam keluarga ini harus terus digerakkan melalui pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan Taksu.

Dari Kamulan Taksu inilah hendaknya digagas terus pendidikan untuk membangun keseimbangan kualitas hidup fisik material dan mental spiritual dengan belajar terus-menerus. Apalagi dalam Pustaka Wrehaspati Tattwa 33 ada dinyatakan bahwa salah satu ciri hidup sukses adalah Adhyayana. Artinya belajar terus-menerus, tidak pernah merasa tamat belajar. Selanjutnya Tarka Jnyana artinya terus-menerus berusaha untuk mempraktikkan ilmu yang didapatkan. * wiana

Taksu Bali


Taksu Bali

Taksu di Bali sangata erat dengan kebudayaan Bali, untuk lebih memahaminya silahkan baca artikel berikut

Kegiatan seni bagi masyarakat Hindu Bali merupakan suatu refleksi kehidupan dalam upaya mengungkapkan esensi suatu karya yang mengandung kualitas keindahan, rasa bhakti yang berpedoman kepada nilai-nilai budaya tradisi. Kegiatan seni terwujud dalam bentuk tarian, arsitektur tradisional, patung atau artifak, sastra, lukisan, dan sebagainya. Sedangkan makna dari kegiatan seni adalah sebagai wujud persembahan (Yadnya) kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud karya seni.

Masyarakat Bali (Hindu) mengenal adanya suatu pedoman mengenai pencapaian kualitas untuk menghasilkan suatu karya bermutu, disebut taksu. Taksu sebagai landasan pencapaian kualitas seni lebih mudah dilihat, dirasakan dan dijelaskan melalui bentuk tarian, karena perwujudannya tampak secara visual. Berdasarkan hasil survey, taksu ternyata ada pada setiap bidang kegiatan.

Berdasarkan keterangan diatas, maka fokus penelitian ini untuk mengungkapkan pencapaian kualitas taksu pada bidang arsitektur rumah tradisional Bali, yaitu griya sebagai studi kasus. Penelitian tesis ini mempergunakan metoda penelitian kualitatif, tujuannya untuk memperoleh pandangan secara holistik dari mereka yang diteliti. Penelitian meliputi komposisi rumpun bangunan, pekarangan, natah (halaman), dan karakteristik penghuni.

Temuan-temuan yang diperoleh, taksu pada dasarnya merupakan landasan berpikir dalam upaya mengungkapkan nilai-nilai dan makna keindahan yang tertinggi. Berdasarkan keterangan di atas ditemukan tiga unsur penting yang saling mempengaruhi untuk tercapainya pemahaman nilai-nilai taksu, yaitu : undagi (arsitek), griya (karya), dan masyarakat umum (penghuni griya). Undagi dengan karyanya bila mendapatkan suatu pengakuan, penghargaan dari masyarakat dikatakan sebagai undagi metaksu dan griya metaksu. Metaksu adalah hasil apresiasi masyarakat sebagai penikmat karya, karena secara kreatif seniman tersebut telah mampu menghasilkan dan menyampaikan suatu karya yang memenuhi nilai-nilai yang hendak dikomunikasikan, berupa pesan-pesan estetik.

Inti dari pencapaian taksu menjadi metaksu, adalah didalam suatu karya tersembunyi subjektivitas undagi, dan masyarakat melihat sebagai suatu karya yang utuh (manunggal). Maka taksu dapat dikatakan semacam “ideologi” bagi masyarakat Hindu Bali; dalam pengertian sebagai suatu kumpulan nilai-nilai budaya asli daerah yang dijadikan landasan pemikiran, pendapat yang memberikan arah tujuan untuk mencapai kualitas dalam kehidupan.

Pencapaian pemahaman nilai-nilai taksu merupakan sesuatu yang sangat penting bagi undagi karena akan berdampak dalam upaya menjaga kualitas keharmonisan dan keserasian antara bhuwana alit dan bhuwana agung, sesuai tujuan akhir hidup orang Bali, yaitu : mencapai kesejahteraan jagad dan mencapai moksa (keabadian akhirat).

Translate:


Artistic performance is a life reflection to the Balinese in their effort to reveal essence of product that contains attractiveness and devotion to traditional life, such as dancing, painting, sculpture or artifact, literature, traditional architecture, ect. While the artistic activity function in considered as the artist realization in offering (Yadnya) to their God, Sang Hyang Widhi Wasa in the artistic product format.

The Balinese Hindu society recognizes the existence of a process that they use as a guidance to achieve a quality artistic product, which is known as taksu. Taksu as a base to achieve high quality product, easily can be seen, felt, and explained in the forms of dancing since it has a visual form.

Survey indicates that taksu has exists on all forms of activities. Based on the above, this research has focused on taksu quality achievement in the field of traditional Balinese architecture, griya as a case study. A qualitative methodology is employed on this research in order to get a holistic view. The research consists of building structural composition, yards, and the occupant characteristics.

The finding : taksu in general is the basis of thought in an effort to reveal the highest quality value. There are three important factors interrelated to achieve understanding on taksu, namely : the undagi ( the traditional architecture), griya (product), and the general public (the griya occupant). If an undagi with his masterpiece, griya gets appreciation form the society, it is called that the undagi and the griya are metaksu. Metaksu is the general society appreciation as devotee, since the artist creativity has able to communicate values in the form of aesthetical messages.

The point of taksu to become metaksu in an undagi achievement is the undagi hidden subjectivity; the society sees it as a united product. Taksu for the Balinese Hindu could be said as their ‘ideology’, as a group of region original cultural values which is used as a base of their thought, opinion that give them guidance in achieving better quality in life. Achievement of taksu understanding is a very important matter to an undagi, as it has an effect in maintaining harmony between the micro and macro cosmos, in accordance to the ultimate Balinese goal in life; to accomplish universe prosperity and to achieve moksa (redemption/ eternity).